A. BANGUNAN KLASIK
Gaya bangunan zaman dahulu dan teknik mendesain nya mengacu pada zaman klasik Yunani, seperti digunakan di Yunani kuno pada periode Helenistik dan kekaisaran Romawi.
Contoh yang ada di Indonesia :
1. Lawang Sewu (Semarang)
Arsitek :
Di desain oleh Ir P de Rieau. Ada 3 cetak biru bangunan itu yang dibuat di Amsterdam. Pemerintah Belanda menunjuk Prof Jacob K Klinkhamer di Delft dan BJ Oudang untuk membangun gedung NIS di Semarang dengan mengacu arsitektur gaya Belanda.
Tahun dibangun :
Th. 1863-1877 (yang terbangun hanya sebagian saja dan belum resmi digunakan). Th. 1908-1913 (pembangunan secara intensif). Resmi digunakan 1 Juli 1907.
Fungsi bangunan :
Semula Lawang Sewu milik NV Nederlandsch Indische Spoorweg Mastshappij (NIS), yang merupakan cikal bakal perkeretaapian di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka Lawang Sewu dipakai sebagai kantor perkeretaapian milik Indonesia, yaitu Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Lalu pada tahun 1949 Lawang Sewu digunakan sebagai kantor administrasi oleh KODAM IV DIPONEGORO. Pada tahun 1994 Lawang Sewu disewa oleh PT. Binangun Artha Perkasa (BAP) dan Perumka DAOP IV Semarang dalam perjanjian Memorandum of Understanding. Setelah itu Lawang Sewu kemudian ditempati oleh Departemen Perhubungan selama sekitar 2 tahun. Dan oleh karena Pajak Bumi dan Bangunan yang sangat besar, Lawang Sewu dijual ke pihak swasta.
Konsep perancangan :
Lawang Sewu, satu diantara sedikit bangunan yang mempunyai integritas arsitektur yang kuat perpaduan antara pengaruh luar ( indische ) dengan keunikan lokal yang kental dan tanggap terhadap iklim maupun lingkungan sekitar yang masih tersisa. Dari segi tampilan bangunannya gedung Lawang Sewu menganut gaya Romanesque Revival dengan ciri yang dominan yaitu memiliki elemen-elemen arsitektural yang berbentuk lengkung sederhana dan dirancang dengan pendekatan iklim setempat. Penyelesaian bangunan sudut dengan adanya dua fasade serta penggunaan menara pada gedung Lawang Sewu sedikit banyak diilhami oleh bentuk bangunan sudut kota-kota Eropa zaman abad pertengahan yang masih berkembang sampai saat ini. Secara umum gedung Lawang Sewu tidak memiliki simbol yang penting namun bila ditinjau dari skala kota atau wilayah keberadaan gedung yang terletak di tengah-tengah Kota Semarang ini, keberadaannya sangat berarti bagi pembentukan citra lingkungan dan mampu tampil sebagai “landmark” bagi Kota Semarang. Keseluruhan gedung ini merupakan karya yang sangat indah sehingga dijuluki “ Mutiara dari Semarang “.
Tata Bangunan :
Kompleks gedung Lawang Sewu terdiri atas dua massa bangunan utama. Yang di sebelah barat berbentuk “I” dengan pertemuan kakinya menghadap Tugu Muda, dan di sebelah timur merupakan massa linier membujur dari barat ke timur. Semua bangunan pada Lawang Sewu berlantai dua. Gedung Lawang Sewu terletak pada tanah relatif datar dengan view utama bundaran Simpang Lima pada sisi luarnya dan lapangan upacara di bagian dalamnya. Mengingat keberadaannya yang terletak di tengah Kota Semarang maka faktor kebisingan, debu dan polusi yang diakibatkan oleh aktivitas jalan raya sangat potensial mengganggu. Penggunaan vegetasi-vegetasi yang ada berfungsi untuk mereduksi beberapa gangguan tersebut. Dari pola tata massa yang ada dapat dilihat bahwa orientasi terhadap ruang luar diarahkan ke lapangan di bagian dalam site. Hal ini ditandai dengan dimensi yang diberikan pada lapangan memiliki porsi yang jauh lebih besar daripada ruang luar di bagian depan. Mengingat keberadaan dari gedung Lawang Sewu yang dahulu difungsikan sebagai kantor maka aktivitas pada ruang luar bukan merupakan sesuatu yang dominan dimana ruang luar tampaknya hanya difungsikan sebagai lapangan upacara terbukti dengan masih adanya tiang bendera yang masih kokoh. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa dalam proses perancangannya arsitek gedung Lawang Sewu mengadakan pendekatan terhadap iklim setempat, baik dari pemakaian bahan maupun juga rancang bangun yang kontekstual terhadap lingkungan. Hingga sampai saat ini pun kehadirannya masih relevan dan layak untuk daerah yang memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Akibat dari musim hujan tersebut maka bentuk atap yang digunakan adalah atap perisai dengan sudut kemiringan atap 45 ° sehingga air hujan dengan cepat jatuh kebawah. Penggunaan tritisan (over stack) terlihat pula pada gedung ini untuk menghindari percikan air masuk ke ruangan. Begitu juga di bagian bawah (kaki) terjadi peninggian peil lantai dari peil tanah dasar setinggi 50 cm. Sehingga banjir dapat terhindar disamping halamannya yang dibiarkan alami tanpa perkerasan sehingga air hujan dapat meresap dengan cepat kedalam tanah. Jalur pedestrian pada ruang luar gedung ini tampak kurang dominan. Hal ini disebabkan ruang-ruang yang ada telah dihubungkan melalui koridor-koridor yang ada yang juga berfungsi sebagai teras pada bagian dalam atau sisi dalam gedung ini. INTERIOR & TATA RUANG DALAM : • Pada daerah pintu masuk diapit oleh dua menara yang pada bagian atasnya membentuk “topola” persegi delapan berbentuk kubah. Bukaan pada pintu masuk merupakan pintu berdaun ganda dengan panel tebal dan kedap yang terbuat dari kayu.
Di atas pintu terdapat bukaan untuk boventlicht. Jendela dengan ambang atas berbentuk lengkung dan ambang bawahnya tidak disanggah. Tipe jendela yang digunakan adalah jendela ganda dengan krepyak dengan ukuran skala yang demikian tinggi ± 3 meter dengan ukuran lebar ± 2,5 meter yang berfungsi untuk memaksimalkan udara yang masuk ke dalam ruangan. Selain itu ukuran seperti ini juga dapat memberi kesan megah dan monumental.
• Untuk lantai bangunan dilapisi marmer cokelat dan hitam, serta keramik putih kusam berukuran 30 x 30cm baik pada ruangan dalam maupun selasar dengan lebar selasar 1,5 meter yang menghubungkan ruang yang satu dengan ruang yang lainnya.
• Pola sirkulasi di dalam ruangan adalah sirkulasi linier serta hubungan antar ruang adalah langsung yaitu dihubungkan dengan pintu-pintu berdimensi lebar. Sedangkan pola sirkulasi antara ruang satu dengan ruang lain dihubungkan dengan pintu berukuran sedang dengan tinggi 2 meter dan lebar 1 meter dengan penataan ruang berpola grid.
• Besaran ruang yang ada pada bangunan Lawang Sewu berkisar antara 12m² sampai 30 m². Ruang-ruang tersebut berfungsi sebagai ruang kantor dan ruang pertemuan, sedangkan pada bangunan sebelah kiri pada lantai bawah terdapat sebuah ruangan dengan lebar ruang 6 x 10 meter yang dilengkapi pintu pada ujung sebelah barat yang menghubungkan dengan ruang lain dan basement.
• Di bagian tengah ruangan (lobby) terdapat tangga naik menuju lantai dua dengan ukuran lebar tangga 6 meter yang terbuat dari beton dan dilapisi tegel warna abu-abu. Pada bagian bordes terdapat jendela kaca patri berukuran 2 x 3 meter yang dihiasi dengan hiasan bunga-bungaan berwarna hijau, kuning dan merah.
• Sedangkan untuk elemen ruang seperti perabotan sangat jarang dijumpai mengingat gedung ini sudah lama tidak digunakan.
Di atas pintu terdapat bukaan untuk boventlicht. Jendela dengan ambang atas berbentuk lengkung dan ambang bawahnya tidak disanggah. Tipe jendela yang digunakan adalah jendela ganda dengan krepyak dengan ukuran skala yang demikian tinggi ± 3 meter dengan ukuran lebar ± 2,5 meter yang berfungsi untuk memaksimalkan udara yang masuk ke dalam ruangan. Selain itu ukuran seperti ini juga dapat memberi kesan megah dan monumental.
• Untuk lantai bangunan dilapisi marmer cokelat dan hitam, serta keramik putih kusam berukuran 30 x 30cm baik pada ruangan dalam maupun selasar dengan lebar selasar 1,5 meter yang menghubungkan ruang yang satu dengan ruang yang lainnya.
• Pola sirkulasi di dalam ruangan adalah sirkulasi linier serta hubungan antar ruang adalah langsung yaitu dihubungkan dengan pintu-pintu berdimensi lebar. Sedangkan pola sirkulasi antara ruang satu dengan ruang lain dihubungkan dengan pintu berukuran sedang dengan tinggi 2 meter dan lebar 1 meter dengan penataan ruang berpola grid.
• Besaran ruang yang ada pada bangunan Lawang Sewu berkisar antara 12m² sampai 30 m². Ruang-ruang tersebut berfungsi sebagai ruang kantor dan ruang pertemuan, sedangkan pada bangunan sebelah kiri pada lantai bawah terdapat sebuah ruangan dengan lebar ruang 6 x 10 meter yang dilengkapi pintu pada ujung sebelah barat yang menghubungkan dengan ruang lain dan basement.
• Di bagian tengah ruangan (lobby) terdapat tangga naik menuju lantai dua dengan ukuran lebar tangga 6 meter yang terbuat dari beton dan dilapisi tegel warna abu-abu. Pada bagian bordes terdapat jendela kaca patri berukuran 2 x 3 meter yang dihiasi dengan hiasan bunga-bungaan berwarna hijau, kuning dan merah.
• Sedangkan untuk elemen ruang seperti perabotan sangat jarang dijumpai mengingat gedung ini sudah lama tidak digunakan.
2. Stadhuis (Jakarta)
Arsitektur :
Arsitektur bangunan bergaya abad ke 17 bergaya neoklasik dengan 3 lantai dan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin. Museum ini memiliki luas lebih dari 1300meter persegi.
Memiliki nama resmi Museum Sejarah Jakarta adalah sebuah museum yang terletak di jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta barat. Gedung ini dibangun pada tahun 1707 - 1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dan di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang bawah tanah yang sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini diresmikan sebagai Museum Fatahillah
Sejak tahun 2001 sampai dengan 2002 Museum Sejarah Jakarta menyelenggarakan Program Kesenian Nusantara setiap minggu ke-II dan ke-IV untuk tahun 2003 Museum Sejarah Jakarta memfokuskan kegiatan ini pada kesenian yang bernuansa Betawi yang dikaitkan dengan kegiatan wisata kampung tua setian minggu ke III setiap bulannya.
Selain itu, sejak tahun 2001 Museum Sejarah Jakarta setiap tahunnya menyelenggarakan seminar mengenai keberadaan Museum Sejarah Jakarta baik berskala nasional maupun internasional. Seminar yang telah diselenggarakan antara lain adalah seminar tentang keberadaan museum ditinjau dari berbagai aspek dan seminar internasional mengenai arsitektur gedung museum.
Untuk merekonstruksi sejarah masa lampau khususnya peristiwa pengadilan atas masyarakat yang dinyatakan bersalah, ditampilkan teater pengadilan di mana masyarakat dapat berimprovisasi tentang pelaksanaan pengadilan sekaligus memahami jiwa zaman pada abad ke-17.
3. Gereja Katredal (Jakarta)
Gereja Katedral Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga adalah sebuah gereja Katolik yang diresmikan tahun 1901. Gaya arsitekturnya adalah neo-gotik yang merupakan ciri khas arsitektur gereja di Eropa. Arsiteknya adalah Marius Hulswit asal Belanda. Awalnya, bagian menara dirancang berbentuk kubah pada ujungnya. Namun rencana ini tak pernah terlaksana. Sebagai gantinya dibangun menara dari logam, yang tidak lazim untuk sebuah gereja gotik namun perlu dilakukan karena wilayah Indonesia rentan terhadap gempa. Pada tahun 1991, bagian balkon katedral dijadikan museum.
4. Gedung Bank Indonesia (Cirebon)
Tak banyak yang tahu tentang bangunan bersejarah ini, padahal gedung ini pernah muncul di mata uang 500 rupiah.
Bangunan ini merupakan kantor cabang ke-5 De Javasche Bank yang dibuka pada 1 Juli 1866 (hmm…duluan daripada Yogya malah, hebat). Arsiteknya sama dengan arsitek Gedung BI Yogyakarta, yaitu F.D. Cuypers & Hulswit. Bangunan ini sekarang beralamat di Jalan Yos Sudarso no. 5 Cirebon. Ada dua keunikan gedung ini dibandingkan gedung kolonial lain. Pertama, ini adalah satu-satunya gedung BI yang memiliki satu menara. Kedua, di bagian depan bangunan utama gedung ini, terdapat sepasang gapura bergaya Majapahit dari batu bata merah.
Komentar
Posting Komentar